Senin, 22 Januari 2018

Halaqah 01 ~ Pengagungan Terhadap Ilmu Bagian 01

🆔 *Group WA HSI AbdullahRoy*
🌐 hsi.abdullahroy.id
════ ❁✿❁ ════

📘 _Silsilah Ilmiyyah Pengagungan Terhadap Ilmu_

🔊 _*Halaqah 01 ~ Pengagungan Terhadap Ilmu Bagian 01*_

👤 *Ustadz Dr. Abdullah Roy, M.A.*
════ ❁✿❁ ════

🗳 *Donasi Operasional dan Pengembangan Dakwah*
Group HSI AbdullahRoy
| Bank Mandiri Syariah [Kode Bank 451]| No. Rek : 7109713408
| Atas Nama : HSI Abdullahroy
Mohon setelah transfer konfirmasi via whatsapp ke :  +62 815-6478-6911

*Informasi dan saran:*
📱 HSI-Center :  +62817-777-667
👥 Facebook : fb.com/hsi.abdullahroy

🏜 Instagram : hsi.abdullahroy

Telah berkata Syaikh Dr. Shalih bin Abdillah bin Hamed Al-‘Utsaimin hafizhahullah di dalam Muqaddimah kitab “Khulashah Ta’zhimil ‘Ilmi” bahwa banyak sedikitnya ilmu seseorang adalah sesuai dengan pengagungan dia terhadap ilmu itu sendiri. Barang siapa yang hatinya penuh dengan pengagungan terhadap ilmu maka hati tersebut pantas menjadi tempat bagi ilmu tersebut, sebaliknya barang siapa yang berkurang pengagungannya terhadap ilmu maka akan semakin berkurang bagiannya. Kemudian beliau menyebutkan 20 perkara yang merupakan bentuk pengagungan terhadap ilmu: 1. Membersihkan tempat ilmu (yaitu hati) Diantara bentuk pengagungan terhadap ilmu adalah membersihkan tempat ilmu. Apabila hati kita bersih maka ilmu akan berkenan masuk, dan semakin bersih maka semakin mudah menerima ilmu tersebut. Dan hal yang mengotori hati dan menjadikan ilmu sulit masuk adalah kotoran syahwat dan kotoran syubhaat. 2. Mengikhlaskan niat. Diantara bentuk pengagungan terhadap ilmu adalah mengikhlaskan niat karena Allah didalam menuntutnya. Sesuai dengan keikhlasan seseorang dia akan mendapatkan ilmu dan niat yang ikhlas didalam mencari ilmu adalah apabila niatnya: 1) Mengangkat kebodohan dari diri sendiri 2) Mengangkat kebodohan dari orang lain 3) Menghidupkan ilmu dan menjaganya supaya tidak punah 4) Mengamalkan ilmu 3. Mengumpulkan tekad untuk menuntutnya, meminta petolongan kepada Allah, dan tidak merasa lemah. Sebagaimana dalam hadits: احرص على ما ينفعك واستعن بالله ولا تعجز Hendaklah engkau semangat melakukan apa yang bermanfaat untuk dirimu dan memohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah engkau merasa lemah. (HR. Muslim) Dahulu Imam Ahmad bin Hambal terkadang ingin keluar dari rumahnya untuk menghadiri majelis ilmu gurunya sebelum datang waktu subuh dan sebagian mereka membaca shahih al-bukhari kepada gurunya dalam tiga majelis atau tiga pertemuan. Ini semua menunjukkan bagaimana semangat dan tekad para pendahulu kita didalam menuntut ilmu. 4. Memusatkan semangat untuk mempelajari Al-Qur’an dan Al-Hadits, karena inilah asal dari ilmu itu sendiri.

Abdullāh Roy di kota Pandeglang

Jumat, 12 Januari 2018

Bab 10 | Hijrahnya Sebagian Shahabat Ke Habasyah (Bag. 3 dari 11)

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 23 Rabi’ul Akhir 1439 H / 10 Januari 2018 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A.
📗 Sirah Nabawiyyah
📖 Bab 10 | Hijrahnya Sebagian Shahabat Ke Habasyah (Bag. 3 dari 11)
▶ Link Download Audio: bit.ly/BiAS-FA-Sirah-1003
~~~~~~~~~~~~~~~

*HIJRAHNYA SEBAGIAN SHAHĀBAT KE HABASYAH (BAGIAN 3 DARI 11)*


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
​​​الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى عليه وعلى آله وأصحابه وإخوانه


Para shahābat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kemudian kita akan lanjutkan kisah hijrah para shahābat ke negeri Habasyah (Ethiopia). 

Kita tahu bahwasanya Allāh Subhānahu wa Ta'āla menganggap perkara hijrah adalah perkara yang besar, sampai Allāh Subhānahu wa Ta'āla menyebutkan dalam firman-Nya:

وَالَّذِينَ هَاجَرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ ثُمَّ قُتِلُوا أَوْ مَاتُوا لَيَرْزُقَنَّهُمُ اللَّهُ رِزْقًا حَسَنًا وَإِنَّ اللَّهَ لَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ (٥٨) لَيُدْخِلَنَّهُمْ مُدْخَلا يَرْضَوْنَهُ وَإِنَّ اللَّهَ لَعَلِيمٌ حَلِيمٌ (٥٩)

_"Dan barangsiapa yang keluar (hijrah) di jalan Allāh Subhānahu wa Ta'āla kemudian mereka terbunuh atau mati, sungguh, Allāh akan memberikan kepada mereka rezeki yang baik (surga). Dan sesungguhnya Allāh adalah pemberi rezeki yang terbaik. Allāh akan masukan mereka ke surga yang mereka akan ridhā dengan surga tersebut. Dan sesungguhnya Allāh Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun."_

(QS Al Hajj: 58-59)

Oleh karenanya hijrah adalah perkara yang besar dan orang-orang hijrah ke Habasyah memiliki posisi yang tinggi di sisi Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Akhirnya, tatkala mereka berangkat menuju negeri Habasyah, ternyata orang-orang musyrikin mendengar berita ini. Maka mereka berusaha mengejar shahābat yang hendak pergi ke Habasyah. Namun tatkala sampai di semacam pelabuhan (tempat bersandarnya perahu-perahu), Allāh mentakdirkan ada dua perahu hendak pergi ke Habasyah tatkala itu.

Ini bukan kebetulan tetapi sudah diatur oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla dan merekapun naik perahu tersebut dan selamatlah mereka.

Ingat, permusuhan orang-orang kāfir Quraisy dengan para shahābat bukan permusuhan duniawi, tetapi permusuhan agama.

Seharusnya mereka bahagia dengan kepergian para shahābat, tetapi mereka tidak bahagia karena belum bisa menghabisi para shahābat, dan Allāh jadikan mereka selamat.

Maka tinggallah mereka di negeri Habasyah dan mereka meminta perlindungan kepada raja Najāsyī kemudian nanti raja Najāsyī meninggal dalam keadaan Islām (radhiyallāhu Ta'āla 'anhu).

Para shahābat tinggal di sana tidaklah lama, sekitar tiga bulan. Kemudian tersebar berita, ada isu yang sampai ke negeri Habasyah, entah siapa yang membawa isu tersebut, isu yang menyebutkan bahwa pembesar kaum musyrikin sudah masuk Islām dan kondisi Mekkah sudah dalam keadaan aman.

Maka pulanglah sebagian mereka ke Mekkah, tatkala sampai di Mekkah, mereka tidak langsung masuk ke kota tetapi hanya sebagian yang masuk ke kota Mekkah.

Ternyata kondisinya masih sama, masih ada penyiksaan, penindasan. Akhirnya sebagian mereka langsung kembali lagi ke Habasyah dan sebagian menetap di Mekkah.

Ini sesuatu yang berat. Bayangkan pergi dari Habasyah menuju Mekkah tidaklah mudah, kemudian mendengar berita yang tidak sesuai dengan bayangan para shahābat, ternyata masih ada penyiksaan. Akhirnya sebagian shahābat kembali ke Habasyah dan ada sebagian yang menetap di Mekkah.

Seiring berjalannya waktu, ternyata gangguan orang-orang musyrikin semakin berat, akhirnya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyuruh mereka untuk hijrah yang kedua kalinya. Kali ini yang hijrah lebih banyak, tidak sebagaimana yang pertama.

Disebutkan oleh para ahli sejarah, bahwasanya yang berhijrah ke negeri Habasyah untuk yang kedua kali adalah sekitar 83 lelaki dan 18 wanita.

Mereka berhijrah dari Mekkah menuju Habasyah dalam rangka untuk beribadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Tatkala orang-orang kāfir Quraisy tahu bahwasanya semakin banyak yang hijrah ke negeri Habasyah maka mereka tidak tinggal diam. Merekapun mengirim dua orang yang paling hebat berbicara di antara mereka yaitu 'Amr bin 'Āsh dan 'Abdullāh bin Abī Rabī'ah, tatkala itu keduanya masih musyrik.

Amr bin 'Āsh adalah orang yang terkenal hebat dalam berbicara. Orang-orang Quraisy tidak mengirim sembarang orang, tetapi mereka mengirim orang yang pandai berbicara dan berhujjah, agar raja Najāsyī percaya kepada mereka, sehingga raja Najāsyī mengusir kaum muslimin dari Habasyah.

Demikian saja.

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته


🖋Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
______________________

Bab 10 | Hijrahnya Sebagian Shahabat Ke Habasyah (Bag. 2 dari 11)

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 22 Rabi’ul Akhir 1439 H / 09 Januari 2018 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
📗 Sirah Nabawiyyah
📖 Bab 10 | Hijrahnya Sebagian Shahabat Ke Habasyah (Bag. 2 dari 11)
▶ Link Download Audio: bit.ly/BiAS-FA-Sirah-1002
~~~~~~~~~~~~~~~

*HIJRAHNYA SEBAGIAN SHAHĀBAT KE HABASYAH (BAGIAN 2 DARI 11)*


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
​​​الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى عليه وعلى آله وأصحابه وإخوانه


Para shahābat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kemudian kita akan lanjutkan kisah hijrah para shahābat ke negeri Habasyah (Ethiopia).

Sesungguhnya hijrah dilakukan oleh para shahābat tiga kali yaitu dua kali hijrah ke Habasyah dan ketiganya ke Madīnah.

Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, berbagai macam siksaan dilakukan oleh orang-orang kāfir Quraisy kepada para shahābat Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Para shahābat yang tidak memiliki kabilah yang kuat, mereka disiksa, seperti 'Ammar bin Yāsir dan keluarganya.

Yāsir, ayahnya dibunuh. Begitupun ibunya, Sumayyah, dibunuh oleh Abū Jahal dengan menikamkan tombak dikemaluan Sumayyah radhiyallāhu ta'āla 'anhā (beliau adalah wanita syahīd yang pertama). Demikian juga para budak lain yang bisa dibunuh maka dibunuh.

Ini semua menunjukkan bahwa mereka ingin menghabiskan kaum muslimin. Mereka tidak ingin dakwah Nabi berkembang, hanya saja yang menjadi masalah, yang masuk ke dalam Islām adalah orang-orang yang memiliki kabilah yang kuat dan nasab yang tinggi.

Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam nasabnya tertinggi. Kemudian Utsmān bin Affān (nasabnya Umawi), Abdurahman bin 'Auf, Sa'ad bin Abī Waqas (memiliki nasab yang tinggi dan kabilah yang kuat). Kalau mereka diganggu maka kabilah mereka akan membantu karena ada fanatik suku yang kuat.

Kalau seandainya ada salah seorang anggota kabilah yang diganggu seakan-akan seluruh kabilah itu diganggu. Oleh karena itu mereka tidak mudah untuk mengganggu dan membunuh kaum muslimin.

Namun Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam sangat sadar bahwasanya orang-orang kāfir Quraisy ingin menghentikan dakwah Nabi sehenti-hentinya dan kalau bisa membunuh seluruh kaum muslimin tatkala itu.

Dari situ Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam mengisyaratkan kepada para shahābat, tatkala siksaan semakin berat, sulit untuk beribadah, tidak bisa shalāt di Masjidil Harām maka Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam memerintahkan kepada mereka untuk hijrah ke Habasyah.

Kata Nabi kepada para shahābatnya:

لَوْ خَرَجْتُمْ إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ، فَإِنَّ بِهَا مَلِكًا لَا يُظْلَمُ أَحَدٌ عِنْدَهُ، وَهِيَ أَرْضُ صِدْقٍ، حَتَّى يَجْعَلَ اللَّهُ لَكُمْ فَرَجًا مِمَّا أَنْتُمْ فِيهِ.

_"Seandainya kalian pergi ke negeri Habasyah sesungguhnya di sana ada seorang raja yang tidak siapapun akan dizhālimi di sisi raja tersebut. Negeri yang dipimpin dengan kejujuran. (Sementara kalian tinggal di sana), hingga saatnya nanti Allāh Subhānahu wa Ta’āla memberikan jalan keluar bagi kalian dari kondisi yang menghimpit kalian."_

Seorang raja (Najāsyī) yang beragama Nashrāni namun dia masih bertauhīd dan dia tidak menzhālimi seorangpun.

Sebetulnya banyak tempat untuk menghindar (pergi dari Mekkah) seperti ke Madīnah, ke Najed (ada banī Hanīfah), ke Thā'if (ada kabilah Tsaqif) di Hunain (ada kabilah Hawazin), akan tetapi tatkala itu kondisi di seluruh jazirah adalah musyrikin.

Seandainya para shahābat tatkala itu hijrah kekota Madīnah, maka akan menjadi masalah karena suku Aush dan suku Khazraj masih musyrik dan mereka tentu akan menolong atau membela orang-orang musyrikin karena tokoh-tokoh musyrikin di Mekkah adalah pimpinan mereka.

Oleh karena itu Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam berpikir jauh, mana tempat yang pas agar para shahābat bisa pergi dan bisa beribadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kemudian Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengetahui ada seorang raja di negeri Habasyah (raja Najāsyī) yang kondisinya lebih baik daripada kaum musyrikin. Meskipun perjalannya jauh, harus menempuh perjalanan laut.

Maka berangkatlah (berhijrah) para shahābat menuju ke negeri Habasyah.

Jumlah mereka tidak banyak, di antaranya yang berhijrah adalah 'Utsmān bin Affān (bersama istrinya Ruqayyah bintu Muhammad).

Mereka berhijrah ke suatu negeri yang kondisi ekonominya lebih rendah, Mekkah saat itu pusat perdagangan sehingga kondisi ekonominya kuat, kehidupan mereka nyaman sebelum ada Islām dan dakwah.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam terkenal dan 'Utsman bin Affān orang kaya, namun tatkala ada dakwah mereka sulit untuk beribadah kepada Allāh Subhānahu wa Ta'āla, sehingga mereka berhijrah.

Mereka berhijrah bukan ke tempat (negeri) yang ekonominya lebih baik, mereka tidak mengetahui kondisi Habasyah. Bisa jadi kondisi cuaca yang tidak cocok (terlalu dingin atau terlalu panas). Mereka juga tidak tahu apakah di sana mereka bisa bekerja atau tidak.

Di antara yang berhijrah ke Habasyah adalah 'Utsmān bin Affān (menantu Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam) dan putrinya Ruqayyah bintu Muhammad.

Nabi ingin memberi contoh kepada para shahābat, bahwa beliau (shallallāhu 'alayhi wa sallam) tidak hanya menyuruh para shahābat saja untuk berhijrah tetapi keluarganyapun ikut disuruh berhijrah di antaranya menantu dan putrinya, agar mereka tahu bagaimana mereka sedih meninggalkan kampung halaman mereka. Demikian pula ada anggota keluarga Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam yang sedih meninggalkan kampung halaman.

Bagaimana seorang ayah tidak sedih, anaknya harus pergi ke negeri Habasyah entah sampai kapan waktunya (wallāhu a'lam). Bisa jadi Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam terbunuh di kota Mekkah, beliau tidak tahu apa yang terjadi dengan anaknya di sana.

Di antara yang pergi berhijrah ke negeri Habasyah adalah saudagar kaya raya yang hidupnya begitu mewah di Mekkah yaitu 'Abdurrahman bin 'Auf. Kemudian Uthbah bin Rabī'ah dan istrinya Sahlah, Zubair bin Awwam, Mush'ab bin 'Umair, Abu Salamah dan istrinya ummu Salamah, 'Utsmān bin Madz'un dan Amir bin Rabī'ah.

Demikian saja.

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته


🖋Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
______________________

Bab 10 | Hijrahnya Sebagian Shahabat Ke Habasyah (Bag. 1 dari 11)

🌍 BimbinganIslam.com
Senin, 21 Rabi’ul Akhir 1439 H / 08 Januari 2018 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, MA
📗 Sirah Nabawiyyah
📖 Bab 10 | Hijrahnya Sebagian Shahabat Ke Habasyah (Bag. 1 dari 11)
▶ Link Download Audio: bit.ly/BiAS-FA-Sirah-1001
~~~~~~~~~~~~~~~

*HIJRAHNYA SEBAGIAN SHAHĀBAT KE HABASYAH (BAGIAN 1 DARI 11)*


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
​​​الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى عليه وعلى آله وأصحابه وإخوانه


Para shahābat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Pada pertemuan yang lalu, kita telah membahas metode-metode yang digunakan orang-orang kāfir dalam menghalangi dakwah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, metode yang mereka (orang-orang kāfir Quraisy) tempuh di antaranya: 

⑴ Menjatuhkan mental Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam (berupa hinaan maupun ejekan).

⑵ Mengganggu secara fisik dengan menyiksa para shahābat yang mereka mampu untuk menyiksa.

Dan Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tetap berusaha untuk tetap berdakwah meskipun kondisi demikian.

Dan di antara metode yang diambil oleh Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam untuk melanjutkan dakwah beliau adalah beliau mencari suatu tempat untuk berkumpul para shahābat, (karena) para shahābat butuh untuk berkumpul untuk terus mendapat wejangan dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, agar terus kokoh imān mereka.

Maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam mengambil rumah milik seorang shahābat yang bernama Al Arqam bin Abil Arqam radhiyallāhu Ta'āla 'anhu. Rumah beliau dikenal dengan Dārul Arqam (yaitu) tempat berkumpulnya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam dengan para shahābat.

Kira-kira jumlah para shahābat saat itu 60 orang, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ahli sejarah.

Dan yang menakjubkan adalah orang-orang kāfir Quraisy, mereka tidak mengetahui tempat berkumpulnya Nabi dan para shahābat ini.

Padahal kita tahu bahwasanya kota Mekkah adalah kota yang kecil penduduknya tidak sampai jutaan tidak seperti sekarang. Mereka saling mengenal, masing-masing kabilah mengenal anggota kabilahnya.

Sementara mereka tidak tahu di mana tempat bertemunya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam dengan para shahābat.

Mereka tahu di mana Dārul Arqam (rumahnya Arqam), yaitu dekat Jabal Shafā. Posisinya dekat dengan Ka'bah. Akan tetapi pintu masuknya dari belakang sehingga jika ada orang masuk ke rumah itu maka orang tidak memperhatikan, karena kebanyakan orang-orang sibuk di Jabal Shafānya.

Pintu masuk Dārul Arqam dari belakang dan inilah yang membuat rumah tersebut tidak diketahui oleh orang-orang kāfir Quraisy

Di antara penyebab yang menyebabkan kenapa orang-orang kāfir Quraisy tidak mengetahui adalah:

1). Al Arqam bin Abil Arqam ini umurnya masih muda, sekitar 16 tahun dan dia bukan dikenal orang dengan Islāmnya.

Kita tahu bahwasanya Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam tidak menyebutkan siapa-siapa saja yang masuk Islām (bahkan Rasūlullāh  shallallāhu 'alayhi wa sallam berusaha menyembunyikan nama-nama orang-orang yang masuk Islām) karena kondisi genting tatkala itu.

Salah satunya Al Arqam, dia tidak dikenal sebagai orang yang menjahrkan (menampakan) Islāmnya.

Orang-orang kāfir Quraisy menyangka, kalau Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam ingin mengambil markas maka akan mengambil markas di tempat pembesar para shahābat, (misalnya) mungkin di rumah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam, Utsmān bin Āffan, Abdurrahman bin 'Auf. Tetapi ternyata yang digunakan sebagai tempat berkumpulnya para shahābat adalah rumahnya seorang anak muda yaitu Al Arqam bin Abil Arqam.

2). Tidak ada yang menyangka kalau Al Arqam bin Abil Arqam dari Kabilah banī Makzhum, banī  Makzhum adalah kabilahnya Abū Jahal.

Kita tahu bahwasanya kabilah yang paling sering bersaing dengan kabilahnya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam (Bani Hāsyim atau Abdi Manāf ) adalah kabilah banī Makzhum.

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa yang membuat Abū Jahal tidak mau masuk Islām adalah dia merasa tersaingi oleh Kabilah Abdi Manāf (kabilahnya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam) dan kabilahnya (Abū Jahal) paling membenci kabilahnya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

Maka tidak terpikir di benak mereka bahwa rumah yang akan digunakan sebagai markas (tempat berkumpulnya para shahābat) adalah rumah salah seorang dari mereka (kabilah banī Makzhum).

Ini menunjukkan bagaimana besarya perjuangan Al Arqam. Jika ketahuan kalau rumahnya digunakan sebagai markas (tempat berkumpulnya para shahābat) maka dia akan segera dibunuh oleh Abū Jahal, di mana tatkala itu Abū Jahal adalah bosnya banī Makzhum.

Yang menakjubkan, bertahun-tahun lamanya, sampai Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam berhijrah tidak ketahuan di mana tempat Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bermarkas. Dan Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam biasa mendidik para shahābat agar berkumpul ditempat tersebut, memberi wejangan kepada mereka.

Ini sangat penting, karena kita butuh untuk selalu berkumpul dengan orang-orang shālih karena syaithān bersama orang yang sendiri.

Jika seseorang bertemu dengan shahābat-shahābatnya, acara pengajian atau kumpul-kumpul (misalnya) kita ingat akan akhirat.

Carilah teman jika kita ingat dia maka kita akan ingat akhirat, bukan teman yang ingat dunia terus. Teman yang baik adalah jika kita melihat dia maka kita ingat akhirat. Kita ingat bahwasanya hidup kita penuh perjuangan. Tujuan hidup kita adalah menuju akhirat Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Demikian saja.

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته


🖋Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
______________________

Kajian 55 | Shalat Qashar Bagi Musafir

Kajian 55 | Shalat Qashar Bagi Musafir

SHALAT QASHAR BAGI MUSAFIR
klik link audio
Link 2 Klik

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله و بعد


Sahabat bimbingan Islam yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita memasuki pembahasan tentang sholat seorang Musafir.

قال المصنف رحمه الله:
Penulis - rahimahullah - berkata:

(( و يجوز للمسافر قصر الصلاة الرباعية بخمس شرائط))

"Bagi seorang musafir (yaitu orang yang bepergian) diperbolehkan untuk mengqashar sholat yang empat rakaat (yaitu menjadikan sholat yang empat rokaat menjadi 2 rokaat) dengan ketentuan memenuhi 5 syarat:"

*Hukum Qashar*

Hukumnya adalah sunnah menurut mayoritas para ulama termasuk ulama syafi’iyyah.

Ini adalah rukhsoh atau keringanan dalam syariat yang Allāh berikan bagi orang – orang yang melakukan safar/perjalanan jauh.


Safar secara umum menimbulkan matsaqqah kondisi yang berat, apakah capai atau kelelahan ataupun kesulitan, oleh karena itu dalam kaedah fikih disebutkan

المشقة تجلب التيسير

Kesulitan menghasilkan kemudahan

Maksudnya syariat memberikan keringanan dan kemudahan dalam perkara-perkara yang menimbulkan masyaqqoh atau kesulitan.

Allāh Subhānahu wa Ta'āla berfirman:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

"Dan Allāh tidak menjadikan kesulitan bagi kalian dalam agama ini."

(QS Al Hajj: 78)

Dalil tentang bolehnya qashar dalam safar diantaranya firman Allah ta’ala:

{ وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُواْ مِنَ الصَّلاَةِ }

Apabila kalian bepergian dimuka bumi, maka tidak mengapa bagi kalian untuk mengqashar sholat.

(QS Annisā': 101)

Adapun sholat maghrib maka tidak diqashar dan tetap dilakukan 3 rakaat, berdasarkan hadits ibnu 'Umar, begitu pula sholat subuh, dan ini adalah ijmak.

Bolehnya Qashar dalam safar apabila memenuhi 5 syarat yang disebutkan dalam matan abi syuja’

*Syarat Yang Pertama*

((أن يكون سفره في غير معصية،))

1. Safar yang dilakukan bukan safar maksiat.

Karena rukhsoh atau keringanan tidaklah diberikan pada pelaku maksiat.
Oleh karena itu, bolehnya qashar meliputi safar yang wajib, seperti safar untuk menunaikan haji Islam, atau melunasi huang.

Begitu pula safar yang sunnah, seperti haji sunnah, umroh, silaturahmi dan lain-lain.
Juga termasuk safar yang mubah seperti safar untuk perdagangan yang mubah.

Adapun safar untuk tujuan maksiat atau mendatangi tempat maksiat atau dengan tujuan yang haram dan semisalnya, atau disebutkan dalam madzhab Syafi'i, safar yang tidak ada tujuannya, maka tidak diberi rukhsoh (keringanan) untuk menqashar sholat.

Bagaimana dengan orang yang menyengaja safar demi mendapatkan rukhsoh atau keringanan, seperti bolehnya berbuka puasa dan perkara-perkara yang rukhsoh lainnya dalam safar ?

Hukumnya orang tersebut tidak mendapatkan rukhsoh, hal,ini ditegaskan oleh fuqoha  Syafi’iyyah, Hanabilah, dan merupakan pendapat imam ibnul Qayyim dan syaikh Utsaimin.

*Syarat Yang Kedua*

((وأن تكون مسافته ستة عشر فرسخا بلا إياب ))

2. Jarak tempuh perjalanan mencapai minimal 16 farsakh, tanpa dihitung jarak perjalanan pulang.

Dari ibnu abbas beliau berkata:

((يا أهلَ مَكَّةَ، لا تَقْصُروا في أقلَّ مِن أربعةِ بُرُد  ، وذلِك مِن مَكَّةَ إلى الطَّائفِ وعُسْفَانَ))

Wahai para penduduk Mekkah, janganlah kalian menqashar sholat apabila kurang dari 4 burud, dan itu jarak dari mekkah ke Thaif dan 'Usfan.

Dikeluarkan imam Syafi'i dalam al Umm nya dan mensahihkan dari ibnu Abbas, ibnu Taymiyah dalam Majmu’ Fatawa dan ibnu Hajar dalam Talhis alHabir.

4 Burud = 16 farsakh = 48 mil = 88 km

Mengenai jarak tempuh yang diperbolehkan qashar, ada 2 pendapat yang paling terkemuka.

_Pendapat pertama:_

Jaraknya tertentu yaitu 88 km atau 16 farsakh, ini adalah pendapat Syafi'iyyah serta jumhur mayoritas ulama.

_Pendapat kedua:_

Yang menjadi patokan adalah kembali kepada urf atau kebiasaan masyarakat, bukan kepada jarak. Apabila dalam urf sudah dikatakan termasuk safar, apakah jaraknya lebih pendek atau lebih panjang dari 88 Km, maka termasuk safar. Apabila menurut urt tidak dikatakan safar maka tidak termasuk safar.

Ini adalah pendapat madzhab dzhohiriyah, sebagian Hanabilah, imam ibnu Qudamah, ibnu Taymiyyah, ibnul Qoyyim, asy Syaukani, asy Syinqithy, ibn 'Utsaimin dan al Albani, dengan dalil-dalil yang mereka kemukakan.

Pada intinya adalah tidak ada dalil tentang penentuan jarak dan semua dalil tentang safar mutlak, tidak menyebutkan jaraknya.


*Syarat Yang Ketiga*

((وأن يكون مؤديا للصلاة الرباعية.))

3. Telah menunaikan sholat yang empat rakaat.

Maksudnya adalah seseorang yang tertinggal sholat yang 4 rakaat dalam kondisi mukim, apabila safar, maka kewajiban orang tersebut tetaplah 4 rakaat dan tidak menjadi 2 rakaat walaupun dia safar. Karena beban 4 rakaat adalah beban pada saat dia mukim.

Dan apabila seseorang tertinggal sholat yang 4 rakaat dalam safarnya, apabila dilakukan dalam keadaan safar maka menjadi 2 rakaat, namun apabila dilakukan setelah selesai safar dan sudah sampai atau dalam keadaan mukim, maka kembali menjadi 4 rakaat.


*Syarat Yang Keempat*

((وأن ينوي القصر مع الإحرام.))

4. Meniatkan qashar tatkala takbiratul ihram.

Karena asal dari sholat adalah menyempurnakan menjadi 4 rakaat, maka apabila tidak berniat untuk qashar, maka wajib untuk menyempurnakan menjadi 4 rakaat kembali kepada asal.


*Syarat Yang Kelima*

((وأن لا يأتم بمقيم.))

5. Tidak bermakmum dengan imam yang mukim.

Apabila seorang musafir bermakmum bermakmum dengan imam yang mukim, baik sebagian rakaat ataupun seluruhnya, maka seorang yang musafir wajib untuk menyempurnakan sholatnya sebagaimana Imam yang mukim.

Demikian yang dapat disampaikan, semoga bermanfa'at.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه وسلم
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
____________________________

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 07 Rajab 1437 H / 04 April 2017 M
👤 Ustadz Fauzan ST, MA
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 55 | Shalāt Qashar Bagi Musafir
⬇ Download audio: bit.ly/BiAS-FZ-H055
〰〰〰〰〰〰〰

Kajian 54 | Shalāt Berjama'ah

🌍 BimbinganIslam.com
Jum’at, 18 Rabi’ul Akhir 1439 H / 05 Januari 2018 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 54 | Shalāt Berjama'ah
💾 Download Audio
〰〰〰〰〰〰〰

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد


Para shahābat  BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita lanjutkan halaqoh yang ke-54 dan kita masuk pada fasal tentang Shalāt Berjama'ah Bagian ke-4

قال المصنف:

Berkata penulis rahimahullāh :

((وأي موضع صلى في المسجد بصلاة الإمام فيه وهو عالم بصلاته أجزئه ما لم يتقدم عليه))

"Ditempat mana saja seseorang shalāt di masjid dengan mengikuti shalāt Imām didalam masjid tersebut dan dia mengetahui shalāt Imām, maka shalātnya sah selama tidak berada didepan Imām"

Kita masuk pada pembahasan yang lain yaitu tentang posisi makmum dan Imām

Ada dua gambaran yang disebutkan oleh  penulis,

⑴ Bahwasanya Imām dan ma'mum  berada didalam masjid.

Atau kita dapat disimpulkan dengan judul masalah bagaimana "Hukum shalāt ma'mum sendirian dibelakang shaf (tidak menyambung shaf)" dalam arti masih didalam masjid akan tetapi ma'mum tersebut tidak bersama ma'mum yang lainnya di dalam shaf atau ma'mum tersebut berada berjauhan dari Imām namun masih didalam masjid.

⇛Pendapat Hanābilah dalam masalah ini hukum shalātnya tidak sah.

Beliau berdalil dengan hadīts hasan yang diriwayatkan oleh Imām Ahmad

عن علي بن شيبان – رضي الله عنه – أن النبي صلى الله عليه وسلم رأى رجلاً يصلي خلف الصف ، فلما انصرف قال له النبي صلي الله عليه وسلم : ( استقبل صلاتك,فإنه لا صلاة لمنفرد خلف الصف) ، وهو حديث حسن

"Dari Ali bin Syaiban Radhiyallāhu 'anhu, bahwasanya Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam  melihat seseorang yang shalāt dibelakang shaf, tatkala orang itu sudah selesai maka Nabi pun berkata kepadanya "Ulangi shalātmu, karena tidak ada shalāt bagi seorang munfarid (shalāt sendirian) dibelakang shaf"

⇛Maksudnya tidak ada shalāt disini adalah tidak sah shalāt seseorang yang munfarid dibelakang shaf shalāt orang-orang.

⇛Disana ada pendapat Jumhur mayoritas ulamā bahwasanya shalātnya sah namun hal ini makruh.
Ini adalah pendapat Hanafiyyah Mālikiyyah dan Syāfi'iyah

Sebagaimana disebutkan penulis dalam masalah ini, maka sah shalāt seorang ma'mum dimana pun dia berada selama dia shalāt didalam masjid dengan 2 syarat.

Dua syarat itu adalah :

· Syarat Pertama | Ma'mun tersebut mengetahui shalāt Imām

Maksudnya mengetahui shalāt Imām adalah :

√ Apakah dengan melihat Imām secara langsung
√ Apakah melihat shaf ma'mum lainnya atau sebagian shaf ma'mum lainnya
√ Apakah mendengar suara, walaupun posisi orang tersebut tertutup dengan penutup atau ada pembatas baik berada diatas atau dibawah, dan walaupun tidak bersambung shafnya, selama berada didalam masjid dan mengetahui pergerakan-pergerakan (perpindahan shalāt Imām) maka sah shalātnya.

⇛Namun sebagian berpendapat bahwasanya orang ini walaupun sah shalātnya tidak mendapatkan pahala shalāt berjama'ah.

· Syarat yang kedua | Tidak berada didepan Imam.

Hukum shalāt ma'mum yang berada didepan Imām menurut mayoritas ulamā dari kalangan Hanafiyyah Syāfi'iyah dan Hanābilah adalah shalāt nya tidak sah secara mutlak, baik ada udzur atau tidak ada udzur.

قال المصنف:

Berkata penulis rahimahullāh :

((وإن صلى الإمام في المسجد والمأموم خارج المسجد قريبا منه وهو عالم بصلاته ولا حائل هناك جاز)) وحد القرب بينهما ثلاث مائة ذراع تقريبا

"Jika Imām shalāt di masjid dan dia(ma'mum) shalāt diluar masjid dan ma'mum itu dekat dengan Imām serta ma'mum tersebut mengetahui shalāt Imām dan tidak ada penghalang antara dia dengan Imām maka sah".

Kata beliau, dan batasan dekatnya adalah 300 dzira' antara keduanya (kira-kira 144 m)

Disini ada perbedaan teks matan yang disebutkan disana ada yang menyebutkan kondisi yang kedua dan ada yang menyebutkan  kondisi ketiga.

Apa itu kondisi kedua dan ketiga? Kita akan ringkaskan dalam penjelasan berikut ini.

*Kondisi yang kedua*

Yang disebutkan didalam matan yang kita sebutkan sekarang bahwasanya Imām berada didalam masjid dan ma'mum berada diluar masjid

*Kondisi yang ketiga*

Kondisi yang ketiga yang disebutkan didalam matan yang lain, Imām dan ma'mum berada diluar masjid.

⇛Untuk keadaan atau kondisi kedua, Imām berada di dalam masjid dan ma'mum diluar masjid maka apabila tidak ada penghalang dan jaraknya sekitar 300 dzira' atau 144 m, maka shalātnya sah dengan mengikuti Imām tersebut.

⇛Dengan melihat Imām secara langsung atau melihat sebagian shaf dari ma'mum, selama dia mengetahui pergerakan Imām atau perpindahan Imām secara langsung tidak ada pembatas maka shalātnya sah.

⇛Keadaan ketiga, Imam dan ma'mum berada diluar masjid.

Maka disini dipersyaratkan sama al 'ilmu (mengetahui) yaitu dengan melihat pergerakan Imām atau perpindahan gerak Imām dengan melihat Imām atau melihat sebagian shafnya tanpa penghalang dengan jarak maksimal 300 dzira' atau sekitar 144 m.

⇛Ini adalah tafria'at atau pengembangan masalah atau perluasan masalah bagi yang berpendapat bahwa shalāt ma'mum sendirian dibelakang imam adalah sah.

Bagi yang memandang itu tidak sah, maka seluruh keadaan ini adalah tidak sah.

Demikian, semoga bermanfaat

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

Waakhiru dakwah ana walhamdulillah

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
----------------------------------

Kajian 53 | Shalāt Berjama'ah

🌍 BimbinganIslam.com
Kamis, 17 Rabi’ul Akhir 1439 H / 04 Januari 2018 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 53 | Shalāt Berjama'ah
💾 Download Audio di sini
〰〰〰〰〰〰〰

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد


Para shahābat  BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita lanjutkan halaqoh yang ke-53 dan kita masuk pada fasal tentang Shalāt Berjama'ah Bagian ke-3


قال المصنف:

Berkata penulis rahimahullāh

((ويجوز أن يأتم الحر بالعبد))

"Dan boleh bagi seorang yang merdeka mengikuti (menjadi makmum) dari seorang hamba sahaya (budak)"

Hal ini berdasarkan hadīts tentang 'Āisyah Radhiyallāhu Ta'āla 'anhā yang diriwayatkan oleh Imām Bukhāri 1/140:

وَكَانَتْ عَائِشَةُ: «يَؤُمُّهَا عَبْدُهَا ذَكْوَانُ مِنَ المُصْحَفِ»

"Dan 'Āisyah Radhiyallāhu Ta'āla 'anhā, beliau diimami oleh hamba sahayanya (Dzakwan) dengan membaca mushaf"

*⇛Dzakwan adalah budak 'Āisyah Radhiyallāhu Ta'āla 'anhā*

قال المصنف:

Berkata penulis rahimahullāh

((والبالغ بالمراهق))

"Dan begitu pula boleh bagi seorang yang bāligh menjadi makmum bagi anak kecil"

Disini adalah madzhab dari Syāfi'iyah dan kita lihat bagaimana hukum anak kecil yang menjadi imam.

*Pendapat pertama*

⇛ Bahwasanya tidak sah seorang Imām yang belum bāligh didalam shalāt yang wajib (Tidak sah hukumnya seorang anak kecil menjadi Imām dalam shalāt yang wajib)

Namun dia diperbolehkan dalam shalāt sunnah dengan syarat telah mencapai umur mumayyaz.

⇛ Umur Mumayyaz adalah umur seorang anak kecil yang sudah bisa membedakan mana yang bermanfaat dan mana yang mudharat (berbahaya)

⇛Ini adalah pendapat mayoritas (jumhur) ulamā dari kalangan :

√ Hanafiyyah
√ Mālikiyyah
√ Hanābilah

Adapun hanafiyah, mereka tidak membolehkan secara mutlak baik dalam shalāt wajib maupun shalāt sunnah.

⇛Diantara alasannya adalah bahwasanya posisi Imām adalah posisi kesempurnaan, dan anak kecil yang belum bāligh maka dia tidaklah sempurna.

*Pendapat Kedua:*

⇛Bolehnya seorang anak kecil yang mumayyaz (yang sudah tamyiz)  menjadi Imām bagi orang yang bāligh baik fardhu maupun sunnnah, namun yang lebih utama adalah seorang yang bāligh yang menjadi Imām.

⇛Ini adalah pendapat Syāfi'iyah karena mereka tidak mensyaratkan syarat bāligh untuk seorang Imām.

Dalīl mereka diantaranya adalah hadīts Amr bin salamah," bahwasanya beliau mengimami kaumnya dizaman Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam dan beliau masih berumur enam atau tujuh tahun".

Dan pendapat ini adalah pendapat yang rājih (lebih kuat).

Syaikh bin Bāz, beliau  menjawab pertanyaan dalam masalah ini:

لا بأس بإمامة الصبي إذا كان قد أكمل سبع سنين أو أكثر وهو يحسن الصلاة؛ لأنه ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم ما يدل على ذلك ولكن الأفضل أن يختار الأقرأ من الجماعة

"Tidak mengapa kata beliau, Imām  nya seorang anak kecil apabila dia telah menyempurnakan umurnya tujuh tahun atau lebih dan dia bagus dalam shalātnya, kata beliau bahwasanya hal itu ada dalīlnya dari Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam yang menunjukan tentang bolehnya hal tersebut, akan tetapi yang paling  afdhal adalah memilih yang paling baik bacaannya dari jama'ah atau dari kalangan orang-orang yang besar atau bāligh.

قال المصنف:

Berkata penulis rahimahullāh :

((ولا تصح قدوة رجل بامرأة))

"Dan tidak sah shalāt laki-laki yang mengikuti wanita"

*▪Bagaimana hukum Imamah wanita atau hukum wanita menjadi Imām di dalam shalāt ▪*

Ada 2 (dua) keadaan :

⑴ Apabila wanita tersebut menjadi Imām bagi para wanita yang lainnya,
maka hal ini *boleh dan sah*.

Berdasarkan dalīl-dalīl yang ada dan juga berdasarkan atsar bahwasanya 'Āisyah Radhiyallāhu Ta'āla 'anhā, beliau menjadi Imām dari kalangan shahābiat yang lainnya.

⑵ Wanita menjadi Imām bagi jama'ah laki-laki atau jama'ah campuran yang disana ada laki-lakinya atau jama'ah laki-laki yang masih kanak-kanak. Maka ini *hukumnya tidak sah*.

Menurut pendapat seluruh ulamā baik dari kalangan terdahulu maupun yang terkini, atau yang sekarang ini, baik ulama besar maupun yang kecil.

قال المصنف:

Berkata penulis rahimahullāh

((ولا قارئ بأمي))

"Dan tidak sah seorang qāri' yang mengikuti shalāt seorang yang ummi"
√ Qāri' disini (maksudnya) adalah orang yang baik dalam membaca surat Al Fātihah, karena Al Fātihah adalah termasuk rukun didalam shalāt.

√ Ummi disini (maksudnya) adalah orang yang jelek bacaan Al Fātihahnya, baik dalam makhrajnya, panjang pendeknya, tasydidnya dll, yang dapat merubah makna kalimat.

Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda :

يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ

"Hendaklah yang menjadi Imām bagi sekelompok kaum, adalah orang yang paling bagus bacaan Al Qurānnya"

(Hadīts Riwayat Imām Muslim 1/465)


Demikian, semoga bermanfaat.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Waakhiru dakwah ana walhamdulillah
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
----------------------------------

Shalāt Berjama'ah (Bagian 2)

🌍 BimbinganIslam.com
Rabu, 16 Rabi’ul Akhir 1439 H / 03 Januari 2018 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 52 | Shalāt Berjama'ah (Bagian 2)
💾 Download Audio di sini
〰〰〰〰〰〰〰

SHALAT BERJAMA'AH (BAGIAN 2)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد


Para shahābat  BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla, kita lanjutkan halaqoh yang ke 52 dan kita masuk pada fasal tentang Shalāt Berjama'ah Bagian ke-2

قال المصنف:

Berkata penulis rahimahullāh :

((وَعَلَى المَأْمُوْمِ أَنْ يَنُوْيَ الجَمَاعَة دُوْنَ الإِمَام))

"Dan wajib bagi ma'mum untuk berniat shalāt berjama'ah, berbeda dengan imam (Imam tidak wajib)."

Disyaratkan bagi seorang makmum, sebelum shalāt untuk melaksanakan shalāt berjama'ah dan mengikuti imam, untuk meniatkan bahwasanya dia ingin shalāt berjama'ah atau ingin mengikuti imam.

Dan tidak perlu kemudian diucapkan (dilafadzkan) cukup di dalam hati tatkala ada niat untuk shalāt berjama'ah, maka itu sudah cukup.

Adapun bagi imam maka tidak disyaratkan niat untuk shalāt berjama'ah, namun apabila mengetahui lebih utama apabila seorang imam berniat shalāt berjama'ah agar mendapatkan keutamaannya.

Adapun untuk shalāt jum'at dan shalāt Eid', maka disyaratkan bagi seorang imam untuk niat shalāt berjama'ah.

Contoh misalnya, tatkala seorang sedang shalāt kemudian tiba-tiba dibelakangnya ada ma'mum yang shalāt mengikuti orang tersebut, sementara orang tersebut tidak menyadarinya bahwasanya ada yang mengikuti shalāt nya, maka shalāt mereka adalah sah karena ma'mum disyaratkan untuk niat shalāt berjama'ah sementara imam tidak disyaratkan.

Artinya tatkala Imām tidak mengetahui dia menjadi Imām atau tidak ada niat untuk menjadi Imām akan tetapi kemudian posisi dia ternyata sebagai Imām maka ini hukumnya sah.

*Ada beberapa poin penting*

▪Hukum niat ma'mum yang berbeda dengan niat Imām▪

Apa hukum niat ma'mum yang berbeda niat dengan Imām ?

⇛Masalah ini dijawab secara ringkas oleh Syaikh Bin Bāz.

Kata beliau :

الصواب أنها صحيحة؛ لأن الرسول -صلى الله عليه وسلم- صلى في الخوف ببعض المسلمين ركعتين صلاة الخوف، ثم صلى بالطائفة الأخرى ركعتين، فصارت الأولى له فريضة، والثانية له نافلة وهم لهم فريضة، وكان معاذ -رضي الله عنه- يصلي مع النبي -صلى الله عليه وسلم- في العشاء صلاة الفريضة، ثم يرجع ويصلي بقومه صلاة العشاء نافلةً له وهي لهم فرض، فدل ذلك على أنه لا حرج في اختلاف النية، وهكذا لو أن إنسان جاء إلى المسجد وصلى العصر, وهو لم يصلي الظهر, فإنه يصلي معهم العصر بنية الظهر ولا حرج عليه في أصح قولي العلماء, ثم يصلي العصر بعد ذلك. جزاكم الله خيراً

" Yang benar yang shahīh dalam masalah ini  bahwasanya shalāt tersebut (berbeda niat antara Imām dan ma'mum) adalah sah."

Beliau berdalīl dengan shalāt khauf dan kisah shalātnya Mu'ādz bin Jabbal, manakala beliau (Mu'ādz bin Jabbal) shalāt Isya'fardhu bersama Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam, kemudian beliau pulang untuk mengimami kaumnya dan posisi shalāt beliau adalah posisi shalāt sunnah sementara kaumnya posisinya shalāt fardhu.

*Maka berbeda niat ini diperbolehkan*

Ada beberapa pembahasan seputar niat Imām dan niat ma'mum, yang secara ringkasnya sebagai berikut:

· Yang Pertama | Terkait dengan jenis shalāt

Secara ringkas ada beberapa keadaan:

1. Ma'mum shalāt wajib dibelakang Imām shalāt wajib maka hukumnya boleh.
2. Ma'mum shalāt sunnah dibelakang Imām yang shalāt sunnah maka hukumnya boleh.
3. Ma'mum  shalāt sunnah dibelakang Imām yang shalāt wajib, maka hukumnya boleh.
4. Ma'mum shalāt wajib dan Imām shalāt sunnah, disini para ulama berbeda pendapat apakah sah ataukah tidak sah?

⇛Yang shahīh dan rājih sebagaiamana yang disampaikan Syaikh Utsaimin, maka boleh tidak mengapa dan sah shalātnya.

Dalīlnya berdasarkan kisah Mu'ādz bin Jabbal yang shalāt wajib bersama Rasūlullāh,kemudian beliau pulang lalu shalāt sunnah dan beliau mengimami kaumnya.

· Yang Kedua | Terkait dengan bilangan shalāt

Ringkasan keadaannya sebagai berikut :

⑴ Apabila ma'mum shalāt dengan Imām yang bilangan raka'atnya lebih sedikit.

⇛ Misalnya : Seorang ma'mum shalāt ashar (karena qadha' atau tertidur atau lupa atau sebab lainnya) sedangkan Imām shalāt maghrib, maka ma'mum harus 4 (empat) raka'at , Imām 3 (tiga) raka'at (Imām lebih sedikit), maka tatkala Imām selesai salam, maka ma'mum harus menyempurnakan shalāt menjadi 4 (empat) raka'at setelah Imām selesai.

⑵ Apabila ma'mum shalāt dengan raka'at yang sama dengan Imām, maka (jelas) ma'mum menyempurnakan shalātnya.

⇛ Misalnya : Ma'mum shalāt dhuhur dan Imām shalāt ashar (sama-sama 4 raka'at)

⑶ Apabila ma'mum shalāt dengan bilangan raka'at yang lebih sedikit dari Imām.

⇛Misalnya : Ma'mum shalāt maghrib 3 raka'at dan Imām shalāt isya' 4 raka'at .

*Dan disebutkan oleh Syaikh Utsaimin beberapa keadaan:*

√ Apabila Imām berada di raka'at ke-3  (tiga) dan ma'mum mulai shalāt raka'at ke-3 (tiga) dan ke-4 (empat) bersama Imām, artinya ma'mum masbuk pada raka'at ke-3 (tiga), maka tatkala Imām salam, dia (ma'mum) tinggal menyempurnakan raka'at yang kurang (masih kurang 1 (satu) raka'at lagi).

√ Apabila ma'mum masuk bersama Imām di raka'at ke-2 (dua), maka ma'mum ikut salam bersama Imām, tatkala Imām salam maka ma'mum pun salam (karena dia sudah selesai yaitu Maghrib 3 (tiga) raka'at dan Imām sudah selesai 4 (empat) raka'at dan selesai bersama-sama.

√ Apabila ma'mum masuk bersama Imām di raka'at pertama, maka pada raka'at yang ke-3 (tiga), apa yang dilakukan ?

Disebutkan ma'mum duduk tasyahud dan menunggu Imām yang bangkit ke raka'at ke-4 (empat) dan tatkala Imām sudah sampai di raka'at ke-4 dan kemudian tasyahud maka ma'mum pun salam bersama Imām.

Ada sebagian yang mengatakan bahwa lebih baik ma'mum ini menunggu dalam keadaan sujud, artinya dia sujud sampai Imām sujud, kemudian  mengikuti gerakan Imām sampai salamnya (salam bersama Imām)

Menurut Syaikh Utsaimin ini adalah pendapat yang rājih dalam masalah ini, sebagaimana yang beliau nukilkan dari pendapat  Syaikhul Islām Ibnu Taymiyyah rahimahullāh.

Demikian semoga bermanfaat.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين


Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
----------------------------------

Bab 10 | Hijrahnya Sebagian Shahabat Ke Habasyah (Bag. 6 dari 11)


🌍 BimbinganIslam.com
Sabtu, 26 Rabi’ul Akhir 1439 H / 13 Januari 2018 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A.
📗 Sirah Nabawiyyah
📖 Bab 10 | Hijrahnya Sebagian Shahabat Ke Habasyah (Bag. 6 dari 11)
▶ Link Download Audio: bit.ly/BiAS-FA-Sirah-1006
~~~~~~~~~~~~~~~

*HIJRAHNYA SEBAGIAN SHAHĀBAT KE HABASYAH (BAGIAN 6 DARI 11)*


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
​​​الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى عليه وعلى آله وأصحابه وإخوانه


Para shahābat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kemudian kita akan lanjutkan kisah hijrah para shahābat ke negeri Habasyah (Ethiopia)

Kemudian raja Najāsyī berkata:

 هَلْ مَعَكَ مِمَّا جَاءَ بِهِ عَنْ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ

_"Apakah ada sesuatu yang dibawa oleh nabimu?"_

Maka Ja'far bin Abī Thālib berkata:
 نَعَمْ,

_"Iya."_

Kemudian raja Najāsyī berkata:
 فَاقْرَأْهُ عَلَيَّ

_"Bacakan kepadaku."_

Kemudian Ja'far bin Abī Thālib membacakan surat Maryam.

Dan kita tahu bahwasanya surat Maryam, indah kisahnya. Di awal disebutkan tentang kisah Nabi Zakariyyā yang sudah tua,  kemudian sudah lemah, rambutnya sudah memutih dan berkata, "Aku tidak pernah putus asa dari berdo'a kepada Engkau."

Jadi Allāh menyebutkan dua kisah yang menakjubkan.

⑴ Allāh memberikan anak kepada seorang yang sangat tua (Nabi Zakariyyā) istrinyapun mandul (sudah tidak produktif).

Bagaimana bisa memiliki keturunan? Tetapi Allāh mengatakan, "Bisa."

⑵ Kisah Nabi 'Īsā 'alayhissallām.

Bagaimana seorang wanita tidak bersuami tiba-tiba memiliki anak.

Kalau antum baca kisahnya sangat menyedihkan dalam surat Maryam.

Tatkala datang malāikat Jibrīl 'alayhissallām kemudian mengabarkan kepada Maryam bahwasanya dia akan punya anak, kemudian Maryampun hamil lalu menjauh dari kaumnya sampai akhirnya tiba waktu melahirkan dan dia merasakan rasa sakit ketika akan melahirkan dan tatkala pulang ke kaumnya dituduh sebagai wanita pezinah. 

Semua dibacakan oleh Ja'far bin Abī Thālib dan didengar oleh raja Najāsyī.

Kemudian tatkala mendengar bacaan ini raja Najāsyī pun menangis.

Kata Ummu Salamah, "Demi Allāh, Raja Najāsyī menangis sampai air matanya membasahi jenggotnya dan pendeta-pendeta disekitarnyapun ikut menangis sampai air mata mereka membasahi mushaf-mushaf mereka (Injīl-Injīl mereka) tatkala mereka mendengar bacaan Ja'far bin Abī Thālib."

Kemudian raja Najāsyī berkata:

"Sesungguhnya yang saya dengar ini dan apa yang dibawa oleh Nabi Mūsā, sama-sama keluar dari sumber yang sama. Pergilah kalian berdua wahai Amr bin Āsh dan 'Abdullāh bin Rabī'ah. Demi Allāh saya tidak akan menyerahkan mereka kepada kalian berdua."

Maka para shahābatpun selamat, setelah dialog yang dilakukan oleh raja Najāsyī dan Ja'far bin Abī Thālib.

Namun 'Amr bin Āsh tidak putus asa, dia mengatakan, "Besok saya akan mencari cara lain."

'Amr bin Āsh cerdas, dia ingin memprovokasi raja Najāsyī agar raja Najāsyī mengusir para shahābat.

Dia mengatakan, "Saya akan kabarkan kepada mereka (Raja Najāsyī) bahwasanya ini, shahābat Muhammad, mengatakan Īsā  itu hamba, ini membuat jengkel orang Nashrāni (raja Najāsyī)."

Orang Nashrāni menganggap Nabi 'Īsā adalah tuhan.

Kemudian keesokan harinya  'Amr bin Āsh dan 'Abdullāh bin Rabī'ah menemui raja Najāsyī dan mengatakan:

"Wahai Raja, sesungguhnya mereka telah berbicara tentang 'Īsā bin Maryam dengan perkataan yang besar. Engkau tanya sendiri wahai raja apa yang mereka katakan tentang 'Īsā bin Maryam?"

'Amr bin Āsh cerdas, dia tidak mengatakan perkataannya, melainkan menyuruh raja Najāsyī bertanya sendiri kepada para shahābat.

Raja Najāsyī penasaran apa yang telah dikatakan tentang tuhannya, maka diutuslah utusan untuk menemui para shahābat.

Dan para shahābat bermusyawarah lagi, waktu pertemuan pertama para shahābat membicarakan masalah muamalah, tidak boleh zinah, tidak boleh memutuskan silaturahmi sedangkan sekarang berbicara tentang aqidah.

"Apa yang harus kita katakan?"

Para shahābat sekarang dalam bahaya, bila Raja Najāsyī marah, mereka pasti diusir, saatnya mereka untuk mujamalah, untuk mudahanah. Tetapi lihat bagaimana para shahābat, mereka tetap santai menjelaskan tentang tauhīd, tidak basa basi dalam hal ini.

Mereka bersepakat, apabila kita ditanya oleh raja Najāsyī, kita mengatakan, "Demi Allāh, kami akan mengatakan sebagaimana perkataan Allāh dan apa yang dibawa oleh Nabi kita."

Kemudian para shahābat datang menemui raja Najāsyī dibawah pimpinan Ja'far bin Abī Thālib.

Kemudian raja Najāsyī bertanya, "Apa perkataan kalian tentang Īsā bin Maryam?"

Kemudian Ja'far bin Abī Thālib berkata,

"Kami berbicara tentang Īsā bin Maryam sebagaimana perkataan Nabi kita, dia adalah hamba Allāh dan rasūlnya dan dia adalah kalimat yang Allāh kirimkan ke dalam rahim Maryam dengan mengatakan: Kun Fayakun."

Kemudian Raja Najāsyī memukulkan tangannya di tanah dan kemudian dia mengambil semacam kayu dan berkata, "'Īsā bin Maryam tidak melebihi hal ini."

(Artinya benar, 'Īsā adalah sebagai hamba dan rasūl-Nya)

Maka pembesar-pembesar Najāsyī tatkala itu menghembuskan nafas (jengkel) maka raja Najāsyī mengatakan, "Pergilah kalian wahai shahābat-shahābat Muhammad, kalian bebas di negeriku."

Inilah dialog yang terjadi antara Ja'far bin Abi Thālib dengan Raja Najāsyī yang menunjukkan bagaimana hasadnya orang-orang kāfir Quraisy, mereka berusaha agar raja Najāsyī memulangkan para shahābat ke Mekkah, namun mereka tidak berhasil.

Dan dikatakan dalam hadīts yang shahīh bahwa Raya Najāsyī kemudian masuk Islām.

Dan tatkala meninggal dunia ternyata anak buahnya masih dalam agama Nashrāni sehingga tidak ada yang menyalātkannya, maka Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam menyalātkannya dengan shalāt ghāib.

Oleh karenanya di antara keyakinan yang sangat mendasar bahwasanya 'Īsā 'alayhissalām adalah hamba Allāh dan rasūl- Nya, bukanlah Tuhan atau anak Tuhan.

Demikian saja.

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته


🖋Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
______________________

Bab 10 | Hijrahnya Sebagian Shahabat Ke Habasyah (Bag. 5 dari 11)


🌍 BimbinganIslam.com
Jum’at, 25 Rabi’ul Akhir 1439 H / 12 Januari 2018 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A.
📗 Sirah Nabawiyyah
📖 Bab 10 | Hijrahnya Sebagian Shahabat Ke Habasyah (Bag. 5 dari 11)
▶ Link Download Audio: bit.ly/BiAS-FA-Sirah-1005
~~~~~~~~~~~~~~~

*HIJRAHNYA SEBAGIAN SHAHĀBAT KE HABASYAH (BAGIAN 5 DARI 11)*


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
​​​الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى عليه وعلى آله وأصحابه وإخوانه


Para shahābat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kemudian kita akan lanjutkan kisah hijrah para shahābat ke negeri Habasyah (Ethiopia).

Akhirnya mereka berdua yaitu 'Amr bin 'Āsh dan 'Abdullāh bin Abī Rabī'ah datang menemui raja Najāsyī dan mereka memberi hadiah kepada raja dan diterima oleh raja Najāsyī.

Kemudian mereka berbicara seperti yang mereka rencanakan, mereka mengatakan:

 أَيُّهَا الْمَلِكُ إِنَّهُ قَدْ صَبَا إِلَى بَلَدِكَ مِنَّا غِلْمَانٌ سُفَهَاءُ فَارَقُوا دِينَ قَوْمِهِمْ وَلَمْ يَدْخُلُوا فِي دِينِكَ وَجَاءُوا بِدِينٍ مُبْتَدَعٍ لَا نَعْرِفُهُ نَحْنُ وَلَا أَنْتَ وَقَدْ بَعَثَنَا إِلَيْكَ فِيهِمْ أَشْرَافُ قَوْمِهِمْ مِنْ آبَائِهِمْ وَأَعْمَامِهِمْ وَعَشَائِرِهِمْ لِتَرُدَّهُمْ إِلَيْهِمْ فَهُمْ أَعْلَى بِهِمْ عَيْنًا وَأَعْلَمُ بِمَا عَابُوا عَلَيْهِمْ وَعَاتَبُوهُمْ فِيهِ

_"Wahai Raja, sesungguhnya telah keluar dari negeri kami dan agama kami anak-anak muda yang bodoh, mereka telah meninggalkan agama kaum mereka dan mereka tidak masuk ke dalam agamamu. Wahai Raja, mereka telah datang dengan agama yang baru. Kami tidak tahu dan kalianpun tidak tahu agama tersebut._

_Dan pembesar mereka di Mekkah mengutus kami kepada engkau agar mengembalikan mereka kepada orang-orang tua mereka, karena mereka selalu mengawasi anak-anak mereka dan orang-orang tua mereka lebih mengetahui aib-aib mereka."_

Akan tetapi 'Abdullāh bin Abī Rabī'ah dan 'Amr bin 'Āsh berharap jangan sampai raja Najāsyī sempat berbicara dengan para shahābat. Mereka inginnya adalah para shahābat segera dipulangkan tanpa ada dialog.

Tatkala itu para pembesar Najāsyī mengatakan:

 صَدَقُوا أَيُّهَا الْمَلِكُ

_"Benar, wahai raja."_

Namun apa kata raja Najāsyī ? Dia mengatakan:

لَا هَايْمُ اللَّهِ إِذًا لَا أُسْلِمَهُمْ إِلَيْهِمَا وَلَا أَكَادُ قَوْمًا جَاوَرُونِي وَنَزَلُوا بِلَادِي وَاخْتَارُونِي عَلَى مَنْ سِوَايَ حَتَّى أَدْعُوَهُمْ فَأَسْأَلَهُمْمَا يَقُولُ هَذَانِ فِي أَمْرِهِمْ فَإِنْ كَانُوا كَمَا يَقُولَانِ أَسْلَمْتُهُمْ إِلَيْهِمَا

_"Tidak, demi Allāh, aku tidak akan menyerahkan mereka kepada dua orang ini. Aku tidak akan membuat makar kepada suatu kaum yang mereka telah meminta perlindungan dariku dan mereka telah singgah ditempatku, mereka memilih saya dan tidak memilih tempat lain. Saya tidak akan mengkhianati mereka. Aku akan panggil mereka dan aku akan ajak bicara mereka, apakah benar yang dikatakan kedua orang ini."_

Maka raja Najāsyi mengirim utusan kepada para shahābat, agar para shahābat dipanggil, tatkala itu para shahābat berdiskusi tentang hal ini, "Apa yang harus kita katakan kepada Raja Najāsyī?"

 قَالُوا: نَقُولُ وَاللَّهِ مَا عَلِمْنَا وَمَا أَمَرَنَا بِهِ نَبِيُّنَا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَائِنٌ فِي ذَلِكَ مَا هُوَ كَائِنٌ

_Maka para shahābat mengatakan: Kita akan sampaikan kepada raja Najāsyī, "Demi Allāh apa yang kita ketahui dan apa yang diberitakan oleh Nabi kita. Apa yang terjadi biarlah terjadi.”_

⇒ Para shahābat tidak ingin berbohong, teguh di atas kebenaran.

Maka mereka memilih Ja'far bin Abī Thālib (ini cerdasnya para shahābat tatkala itu) para shahābat ingin membantah perkataan 'Amr bin 'Āsh.

'Amr bin 'Āsh dusta tatkala itu, dia mengatakan yang berhijrah adalah anak-anak muda yang bodoh padahal tidak. Bukan anak-anak muda yang bodoh mereka bahkan dari keturunan pembesar-pembesar kaum Quraisy.

Lihat lah, siapa Ja'far bin Abī Thālib!

Ja'far bin Abī Thālib memiliki nasab yang paling tinggi, tidak ada yang mengalahkan nasabnya.

Nasabnya Amr bin 'Āsh kalah dengan Ja'far bin Abī Thālib. Ja'far bin Abī Thālib bin Abdil Muthālib (Kakek Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam adalah pembesar kaum Quraisy).

Dan yang hijrah tidak saja Ja'far bin Abī Thālib, ada shahābat lain yang memiliki nasab yang tinggi.

Inilah di antara cerdasnya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam tatkala Nabi menyuruh mereka berhijrah bukan dari satu kabilah tetapi dari berbagai macam kabilah untuk menunjukkan bahwa yang keluar dari agama kesyirikan itu adalah berbagai macam kabilah, (artinya) banyak dari berbagai kabilah yang keluar dari agama kesyirikan dan berpindah kepada Islām.

Akhirnya datanglah Ja'far bin Abī Thālib disertai para pendeta, kemudian raja Najāsyī bertanya kepada para shahābat:

مَا هَذَا الدِّينُ الَّذِي فَارَقْتُمْ فِيهِ قَوْمَكُمْ وَلَمْ تَدْخُلُوا فِي دِينِي وَلَا فِي دِينِ أَحَدٍ مِنْ هَذِهِ الْأُمَمِ

_"Agama apa yang kalian menyelisihi kaum kalian? Dan kenapa kalian tidak masuk ke dalam agamaku? Dan tidak ada agama umat manapun yang kalian ikuti."_

Maka Ja'far bin Abi Thālib menjawab, sebelum Ja'far menjelaskan tentang indahnya Islām,  dia jelaskan dahulu bagaimana kerusakan yang mereka jalani tatkala masih dalam kesyirikan.

Dia (Ja'far) mengatakan:

أَيُّهَا الْمَلِكُ كُنَّا قَوْمًا أَهْلَ جَاهِلِيَّةٍ نَعْبُدُ الْأَصْنَامَ وَنَأْكُلُ الْمَيْتَةَ وَنَأْتِي الْفَوَاحِشَ وَنَقْطَعُ الْأَرْحَامَ وَنُسِيئُ الْجِوَارَ يَأْكُلُ الْقَوِيُّ مِنَّا الضَّعِيفَ فَكُنَّا عَلَى ذَلِكَ حَتَّى بَعَثَ اللَّهُ إِلَيْنَا رَسُولًا مِنَّا نَعْرِفُ نَسَبَهُ وَصِدْقَهُ وَأَمَانَتَهُ وَعَفَافَهُ فَدَعَانَا إِلَى اللَّهِ تَعَالَى لِنُوَحِّدَهُ وَنَعْبُدَهُ وَنَخْلَعَ مَا كُنَّا نَعْبُدُ نَحْنُ وَآبَاؤُنَا مِنْ دُونِهِ مِنْ الْحِجَارَةِ وَالْأَوْثَانِ

_"Wahai raja, kami dahulu adalah kaum Jāhilīyyah, kami menyembah berhala dan kami makan bangkai, kami melakukan perbuatan-perbuatan yang keji, kami memutuskan silaturrahmi, kami berbuat buruk kepada tetangga dan kami yang kuat memakan yang lemah dan kami terus dalam kondisi demikian sampai Allāh mengutus kami seorang Rasūl. Seorang rasūl dari kami dan kami tahu nasabnya dan kejujurannya. Dan kami tahu amanahnya dan kami tahu bagaimana akhlaqnya._

_Maka Nabi ini menyuruh kita untuk beribadah kepada Allāh saja dan bertauhīd, dan untuk meninggalkan sesembahan yang disembah oleh kami dan nenek moyang kami (seperti)  batu-batu dan berhala-berhala."_

وَأَمَرَ بِصِدْقِ الْحَدِيثِ وَأَدَاءِ الْأَمَانَةِ وَصِلَةِ الرَّحِمِ وَحُسْنِ الْجِوَارِ وَالْكَفِّ عَنْ الْمَحَارِمِ وَالدِّمَاءِ وَنَهَانَا عَنْ الْفَوَاحِشِ وَقَوْلِ الزُّورِ وَأَكْلِ مَالِ الْيَتِيمِ وَقَذْفِ الْمُحْصَنَةِ وَأَمَرَنَا أَنْ نَعْبُدَ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا نُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَأَمَرَنَا بِالصَّلَاةِ وَالزَّكَاةِ وَالصِّيَامِ قَالَ فَعَدَّدَ عَلَيْهِ أُمُورَ الْإِسْلَامِ فَصَدَّقْنَاهُ وَآمَنَّا بِهِ وَاتَّبَعْنَاهُ عَلَى مَا جَاءَ بِهِ فَعَبَدْنَا اللَّهَ وَحْدَهُ فَلَمْ نُشْرِكْ بِهِ شَيْئًا

_Dan rasūl kami ini menyuruh kami untuk jujur, menyampaikan amanah, menyambung silaturrahmi, untuk berbuat baik kepada tetangga dan melarang kami untuk melakukan hal yang harām, melarang untuk menumpahkan darah dan melarang untuk melakukan perbuatan keji dan melarang untuk berdusta, dan melarang kami untuk memakan harta anak yatim dan melarang wanita baik-baik dengan perzinaan._

_Dan memerintahkan kami untuk beribadah kepada Allāh saja, tidak boleh berbuat syirik sama sekali. Dan Nabi ini menyuruh kami untul shalāt, zakāt dan puasa._

_Maka kamipun hanya menyembah hanya kepada Allāh saja."_

Akhirnya Ja'far bin Abī Thālib benar-benar berbicara tentang tauhīd dia ulang-ulang sampai tiga kali.

"Kami diperintah untuk menyembah Allāh saja dan tidak berbuat syirik sama sekali," karena ini adalah inti dari dakwah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.

"Tatkala kami beribadah kepada Allāh saja, kami mengharāmkan apa yang harām dan kami menghalalkan apa yang halal."

فَعَدَا عَلَيْنَا قَوْمُنَا فَعَذَّبُونَا فَفَتَنُونَا عَنْ دِينِنَا لِيَرُدُّونَا إِلَى عِبَادَةِ الْأَوْثَانِ مِنْ عِبَادَةِ اللَّهِ وَأَنْ نَسْتَحِلَّ مَا كُنَّا نَسْتَحِلُّ مِنْ الْخَبَائِثِ وَلَمَّا قَهَرُونَا وَظَلَمُونَا وَشَقُّوا عَلَيْنَا وَحَالُوا بَيْنَنَا وَبَيْنَ دِينِنَا خَرَجْنَا  إِلَى بَلَدِكَ وَاخْتَرْنَاكَ عَلَى مَنْ سِوَاكَ وَرَغِبْنَا فِي جِوَارِكَ وَرَجَوْنَا أَنْ لَا نُظْلَمَ عِنْدَكَ أَيُّهَا الْمَلِكُ

_"Maka kaum kami, memusuhi kami, merekapun menyiksa kami, dan mereka berusaha mengeluarkan kami dari agama kami, agar mereka mengembalikan kami untuk menyembah para berhala dan agar kami kembali menghalalkan perkara-perkara buruk yang telah diharāmkan._

_Tatkala mereka menzhālimi kami, menyiksa kami, menyusahkan kami dan menghalangi kami, antara kami dengan agama kami, maka kamipun pergi ke negerimu dan kami pilih engkau wahai raja, kami tidak pilih yang lainnya dan kami ingin berada di bawah perlindunganmu dan kami berharap kami tidak dizhālimi di sisi engkau wahai raja."_

Bayangkan ! Perkataan Ja'far bin Abī Thālib.

Perkataan yang indah menjelaskan tentang rusaknya kesyirikan, kemudian datangnya Islām, perubahan akhlaq mereka setelah datangnya Islām kemudian bagaimana mereka dizhālimi.

Dan kita tahu bagaimana kisah Nabi Īsā 'alayhissallām yang dizhālimi. Raja Najāsyī tahu betul bagaimana kezhāliman, dia tahu bagaimana nabinya dahulu ('Īsā 'alayhissallām) dan para hawariyyun disiksa dan dijauhi bahkan hendak dibunuh oleh mereka, bahkan mereka menyangka telah membunuh nabi 'Īsā 'alayhissallām.

Ja'far bin Abī Thālib mengambil hati raja Najāsyī kemudian ditutup dengan perkataan yang indah, "Kami hanya pilih engkau wahai raja dan tidak memilih raja yang lain dan kami berharap tidak dizhālimi di sisi engkau."

Maka raja Najāsyīpun tertarik dengan perkataan Ja'far bin Abī Thālib.

Demikian saja.

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته


🖋Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
_____________________

Bab 10 | Hijrahnya Sebagian Shahabat Ke Habasyah (Bag. 4 dari 11)


🌍 BimbinganIslam.com
Kamis, 24 Rabi’ul Akhir 1439 H / 11 Januari 2018 M
👤 Ustadz Dr. Firanda Andirja, M.A.
📗 Sirah Nabawiyyah
📖 Bab 10 | Hijrahnya Sebagian Shahabat Ke Habasyah (Bag. 4 dari 11)
▶ Link Download Audio: bit.ly/BiAS-FA-Sirah-1004
~~~~~~~~~~~~~~~

*HIJRAHNYA SEBAGIAN SHAHĀBAT KE HABASYAH (BAGIAN 4 DARI 11)*


بسم اللّه الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته
​​​الحمد لله على إحسانه، والشكر له على توفيقه وامتنانه، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له تعظيما لشأنه، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الداعي إلى رضوانه، اللهم صلى عليه وعلى آله وأصحابه وإخوانه


Para shahābat BiAS yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kemudian, kita akan lanjutkan kisah hijrah para shahābat ke negeri Habasyah (Ethiopia).

Saya bacakan kisah perjalanan para shahābat atau bagaimana terjadinya dialog antara Raja Najāsyī dengan Amr bin 'Āsh dan Ja'far bin Abī Thālib radhiyallāhu Ta'āla 'anhu, sebagaimana diriwayatkan oleh Imām Ahmad di dalam Musnadnya dengan sanad yang hasan.

Yang menceritakan kisah ini adalah Ummu Salamah yang juga telah berhijrah ke negeri Habasyah.

Beliau berkata:

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رضي الله عنها قَالَتْ لَمَّا نَزَلْنَا أَرْضَ الْحَبَشَةِ جَاوَرْنَا بِهَا خَيْرَ جَارٍ النَّجَاشِيَّ أَمَّنَّا عَلَى دِينِنَا وَعَبَدْنَا اللَّهَ تَعَالَى لَا نُؤْذَى وَلَا نَسْمَعُ شَيْئًا نَكْرَهُهُ

_"Tatkala kami singgah di negeri Habasyah, di situ kami bersama teman yang baik (di bawah perlindungan raja Najāsyī). Kami merasa aman dengan agama kami."_

⇒ Inilah ketenangan yang mereka cari. 

Allāh menyuruh berhijrah, jika tidak bisa beribadah dengan tenang di suatu tempat, maka jangan nekat, karena bumi Allāh luas.

Oleh karenanya begitu keras para ulamā untuk melarang orang-orang pergi ke negeri kāfir, kecuali jika ada mashlahat.

Jika tidak ada mashlahat maka khawatir, mungkin dia selamat lalu bagaimana dengan keadaan anak-anaknya?

Misalnya, dia tinggal di negeri kāfir hanya sekedar mencari rizqi padahal di negerinya juga bisa, hanya sekedar ingin mendapat gaji lebih besar. Mungkin dia selamat tapi bagaimana dengan anak-anaknya (pergaulan mereka). Perkaranya tidak mudah. Mungkin shalāt tidak mudah dan makan tidak mudah, tergantung kondisi di negara tersebut.

Oleh karenanya keamanan dan ketentraman untuk beribadah itu dituntut.

Oleh karenanya ummu Salamah mengatakan:

وَعَبَدْنَا اللَّهَ تَعَالَى لَا نُؤْذَى وَلَا نَسْمَعُ شَيْئًا نَكْرَهُهُ

_"Dan kami beribadah kepada Allāh tidak ada yang mengganggu kami, dan kami tidak pernah mendengar sesuatu yang membuat kami tidak suka."_

 فَلَمَّا بَلَغَ ذَلِكَ قُرَيْشًا ائْتَمَرُوا أَنْ يَبْعَثُوا إِلَى النَّجَاشِيِّ فِينَا رَجُلَيْنِ جَلْدَيْنِ وَأَنْ يُهْدُوا لِلنَّجَاشِيِّ هَدَايَا مِمَّا يُسْتَطْرَفُ مِنْ مَتَاعِ مَكَّةَ وَكَانَ مِنْ أَعْجَبِ مَا يَأْتِيهِ مِنْهَا إِلَيْهِ الْأَدَمُ

_"Tatkala hal ini sampai kepada orang-orang kāfir Quraisy bahwa kami sudah sampai di Habasyah maka merekapun sepakat untuk mengirim dua orang hebat dan kuat dalam berjidal, maka merekapun datang dan  membawa hadiah (oleh-oleh) untuk raja Najāsyī."_

Hadiah yang mereka paling suka adalah hadiah yang berupa kulit (orang-orang Habasyah suka dengan hadiah ini).

Bayangkan, orang-orang kāfir Quraisy, mereka ingin tahu apa yang disuka oleh penduduk Habasyah. Kemudian mereka mencarikan hadiah yang disukai (bukan sembarang hadiah).

Kemudian mereka mengirim 'Amr bin Āsh dan 'Abdullāh bin Abī Rabī'ah.

Kata orang-orang kafir Quraisy:

فَخَرَجَا فَقَدِمَا عَلَى النَّجَاشِيِّ وَنَحْنُ عِنْدَهُ بِخَيْرِ دَارٍ وَخَيْرِ جَارٍ فَلَمْ يَبْقَ مِنْ بَطَارِقَتِهِ بِطْرِيقٌ إِلَّا دَفَعَا إِلَيْهِ هَدِيَّتَهُ قَبْلَ أَنْ يُكَلِّمَا النَّجَاشِيَّ

_Sebelum kalian berdua menemui raja Najāsyī, mereka berdua harus mendatangi pembesar-pembesar negeri Habasyah (mungkin menteri), lalu memberikan hadiah tersebut terlebih dahulu kepada pembesar-pembesar itu dan mengatakan, "Kalau saya berbicara dengan raja Najāsyī kalian dukung kami."_

Kemudian kata ummu Salamah:

 فَلَمْ يَبْقَ مِنْ بَطَارِقَتِهِ بِطْرِيقٌ إِلَّا دَفَعَا إِلَيْهِ هَدِيَّتَهُ قَبْلَ أَنْ يُكَلِّمَا النَّجَاشِيَّ

_Sebelum mereka berbicara dengan raja Najāsyī, tidak ada satu pembesar negeri Habasyah kecuali sudah diberi hadiah oleh mereka berdua._

ثُمَّ قَالَا لِكُلِّ بِطْرِيقٍ مِنْهُمْ إِنَّهُ قَدْ صَبَا إِلَى بَلَدِ الْمَلِكِ مِنَّا غِلْمَانٌ سُفَهَاءُ

_Kemudian mereka berdua berkata kepada para pembesar Habasyah tersebut, "Sesungguhnya telah keluar dari adat nenek moyang kita dan mereka pergi ke negeri ini (Habasyah) anak-anak muda yang bodoh."_

⇒ Jadi mereka berdua ('Amr bin Āsh dan 'Abdullāh bin Abī Rabī'ah) ingin menjatuhkan derajat para shahābat yang berhijrah.

⇒ Mereka mengatakan: غِلْمَانٌ سُفَهَاءُ , anak-anak muda yang bodoh.

Kemudian kata mereka:

 فَارَقُوا دِينَ قَوْمِهِمْ وَلَمْ يَدْخُلُوا فِي دِينِكُمْ

_"Mereka meninggalkan agama nenek moyang mereka dan anehnya mereka tidak ikut agama kalian (agama Nashrāni)."_

Jadi, hujah mereka:

⑴ Mereka mengatakan, "Anak-anak yang bodoh."

⑵ Mereka mengatakan, "Mereka (para shahabat) meninggalkan agama nenek moyang mereka dan anehnya mereka tidak ikut agama kalian (agama Nashrāni).”

 وَجَاءُوا بِدِينٍ مُبْتَدَعٍ لَا نَعْرِفُهُ نَحْنُ وَلَا أَنْتُمْ وَقَدْ بَعَثَنَا إِلَى الْمَلِكِ فِيهِمْ أَشْرَافُ قَوْمِهِمْ لِنَرُدَّهُمْ إِلَيْهِمْ

_"Mereka datang dengan membawa agama baru dan agama baru ini kami tidak mengenalnya dan kalian pun tidak mengenalnya. Dan pembesar-pembesar kaum mereka (Mekkah) telah mengutus kami agar mengembalikan mereka."_

 فَإِذَا كَلَّمْنَا الْمَلِكَ فِيهِمْ فَأَشِيرُوا عَلَيْهِ بِأَنْ يُسَلِّمَهُمْ إِلَيْنَا وَلَا يُكَلِّمَهُمْ

_"Kalau kami berbicara dengan raja kalian, tolong kami didukung, agar raja mengembalikan kepada kami dan jangan sampai raja berbicara dengan mereka."_

 فَإِنَّ قَوْمَهُمْ أَعْلَى بِهِمْ عَيْنًا وَأَعْلَمُ بِمَا عَابُوا عَلَيْهِمْ

_"Sesungguhnya kaum mereka (orang kafir Quraisy) selalu mengawasi mereka (para shahabat) dan kaum mereka lebih tahu tentang aib-aib mereka."_

Kemudian pembesar-pembesar tersebut mengatakan:
 نَعَمْ

_"Iya."_

Perhatikan disini!

'Amr bin Āsh radhiyallāhu Ta'āla 'anhu cerdas, maka dia berbicara dengan cara yang licik tatkala itu, dia mengatakan:

⑴ Bahwa yang datang ke negeri Habasyah adalah anak-anak muda yang bodoh.
⑵ Mereka membawa ajaran baru, "Kami tidak tahu agama tersebut dan kalianpun tidak tahu agama mereka."
⑶ Nenek moyang mereka atau orang-orang tua mereka berada di Mekkah, "Tugas kami mengembalikan anak-anak yang sesat ini kepada orang tua mereka."

Ini adalah perkataan indah, jadi kesannya mereka berniat baik mengembalikan anak-anak sesat itu kepada orang tua mereka.


Demikian saja.

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت أستغفرك وأتوب إليك
وبالله التوفيق و الهداية
والسلام عليكم ورحمة اللّه وبركاته


🖋Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
______________________

Selasa, 02 Januari 2018

Shalāt Berjama'ah (Bagian 1)

🌍 BimbinganIslam.com
Selasa, 15 Rabi’ul Akhir 1439 H / 02 Januari 2018 M
👤 Ustadz Fauzan S.T., M.A.
📗 Matan Abū Syujā' | Kitāb Shalāt
🔊 Kajian 51 | Shalāt Berjama'ah (Bagian 1)
Download Audio di sini
〰〰〰〰〰〰〰

SHALĀT BERJAMA'AH (BAGIAN 1)

بسم الله الرحمن الرحيم
السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله أما بعد

Para shahābat BiAS yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta'āla.

Kita lanjutkan halaqah yang ke-51, dan kita masuk pada fasal tentang "Shalāt Berjama'ah"

قال المصنف :

Berkata penulis rahimahullāh

((وصلاة الجماعة سنة مؤكدة))

"Dan shalāt berjamaah hukumnya adalah sunnah mu'akkadah"

⇛Disini pendapat dari sebagian  Syāfi'iyah tentang shalāt berjama'ah bahwasanya hukumnya adalah sunnah mu'akkadah.

Dan kita lihat bahwasanya para ulamā telah ijma' bahwa shalāt berjama'ah hukumnya adalah disyariatkan dan memiliki keutamaan yang besar.

Namun para ulamā berselisih pendapat mengenai hukumnya.

⇛Imām An-Nawawi menyembutkan dalam Kitāb Al Majmu' bahwa para ulamā mahzhab Syāfi'iyah sendiri mereka berselisih pendapat tentang hukum shalāt berjama'ah bagi bagi seorang laki-laki.

· Pendapat pertama | Fardhu Kifayah
(Hukumnya wajib, namun apabila sebagian telah melaksanakan maka gugurlah kewajiban bagi yang lain.

Dalīl nya adalah, Rasūlullāh shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda :

سنن النسائي (2/ 106)
»ما من ثلاثة في قرية ولا بدو لا تقام فيهم الصلاة إلا قد استحوذ عليهم الشيطان، فعليكم بالجماعة؛ فإنما يأكل الذئب القاصية

"Apabila dalam sebuah kampung atau pedalaman ada tiga orang namun tidak menegakkan shalāt berjama'ah maka mereka telah dikuasai syaithān, Maka wajib bagi kalian untuk berjama'ah, karena sesungguhnya  serigala hanyalah memangsa kambing yang sendirian."

(Hadīts riwayat Imām Nasāi', Abū Dāwūd dan Hakim)

⇛Dan kata beliau (Imām Nawawi) yang shahīh (Rājih) bahwasanya yang shahīh didalam mahzhab Syāfi'ī dan menjadi rujukan dalam Madzhab Syāfi'ī, adalah pendapat bahwa shalāt berjama'ah hukumnya fardhu kifayah.

·Pendapat Kedua | Sunnah muakkadah (Sunnah yang sangat ditekankan dan dianjurkan)

Dan ini juga disebutkan oleh sebagian para ulamā Syāfi'iyah.

Berdasarkan dalīl hadīts yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah Radhiyallāhu 'anhu,

المجموع شرح المهذب (4/ 182)
لما روى أبو هريرة رضي الله عنه إن النبي صلى الله عليه وسلم قال : صلاة الجماعة افضل من صلاة أحدكم وحده بخمس وعشرين درجة

"Bahwasanya shalāt berjama'ah utama dua puluh lima derajat daripada shalāt kalian sendirian"

⇛Mereka mengatakan tatkala dibandingkan dengan sesuatu yang Sunnah maka hukum shalāt berjama'ah adalah sunnah.

⇛Ini pendapat sebagian Syāfi'iyah dan juga diantaranya pendapat penulis bahwa sunnah

· Pendapat ketiga | Fardhu 'ain
(Wajib bagi setiap muslim laki-laki)

Ini juga adalah pendapat kalangan ulamā Syāfi'iyah dan Hanābilah dan sebagian Hanafiyyah.

Dan juga dari para ulamā dari kalangan salaf dan pendapat ini dipilih oleh Imām Bukhāri, Imām Ibnu Taimiyyah, begitu juga Syaikh Bin Baz dan Syaikh Utsaimin.

Dan ini adalah pendapat yang  Wallāhu a'lam lebih kuat dari sisi pendalīlannya dan juga lebih hati-hati.

Diantaranya adalah firman Allāh Subhānahu wa Ta'āla :

 وَإِذَا كُنْتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِنْهُمْ مَعَكَ

"Dan apabila kamu (Muhammad) berada ditengah-tengah mereka, maka tegakkan lah bersama mereka shalāt (berjamaah), dan hendaknya sebagian kelompok yang shalāt bersama engkau.."

(QS An Nisā' : 102)

Ayat diatas bercerita tentang tata cara shalāt berjama'ah dalam kondisi perang atau kondisi takut.

⇛Jika dalam kondisi perang saja, diwajibkan untuk shalāt, maka tentunya dalam kondisi aman dan tenang maka lebih utama untuk diwajibkan hukumnya.

Kemudian dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abū Hurairah Radhiyallāhu 'anhu beliau berkata,

عن أبي هُرَيرَةَ رضي الله عنه، قال:  )) أتَى النبيَّ صلَّى الله عليه وسلَّمَ رجلٌ أعمى، فقال: يا رسولَ الله، إنَّه ليس لي قائدٌ يقودني إلى المسجِدِ، فسألَ رسولَ اللهِ صلَّى الله عليه وسلَّمَ أن يرخِّصَ له، فيُصلِّيَ في بيتِه، فرخَّص له، فلمَّا ولَّى دعاه، فقال: هلْ تَسمعُ النِّداءَ بالصَّلاةِ؟ قال: نعَم، قال: فأجِبْ (( رواه مسلم

"Ada seorang yang buta, yang datang kepada Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam kemudian dia berkata, " Wahai Rasūlullāh, saya tidak punya seorang yang bisa menuntun saya masjid", maka diapun meminta kepada Nabi Shallallāhu 'alayhi wa sallam agar memberikan rukhsah (keringanan) kepadanya sehingga dia bisa shalāt dirumahnya. Kemudian Nabipun memberikan keringanan kepadanya (orang buta tersebut) tatkal orang tersebut beranjak pergi, maka kemudian Nabi pun memanggilnya dan bersabda " Apakah kamu mendengar adzan untuk shalāt ?" Orang buta itu pun menjawab : "Ya",  maka Rasūlullāh pun bersabda: " Maka jawablah atau datangilah (itu hukumnya wajib)" 

(Hadīts riwayat Imām Muslim)

⇛Dalīl diatas menunjukkan bahwa hukum shalāt berjama'ah dimasjid adalah wajib, bahkan bagi orang yang buta yang dia mendengar adzan.

Maka tentunya bagi selainnya orang buta tersebut (orang yang sehat) maka hukumnya lebih wajib.

Demikian, semoga bermanfaat.


وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


Ditranskrip oleh Tim Transkrip BiAS
----------------------------------